LINGKUNGAN
LITERAT, WARGA SEKOLAH BERMARTABAT
(Ruspel Aiga, Guru SMPN 3 X Koto Diatas –
Kab. Solok)
Dengan bergulirnya era reformasi
pada tahun 1998, semua orang merasa memilki kebebasan untuk berkreasi,
berinovasi, maupun berekspresi. Karena memang hambatan ataupun penghalang untuk
berkreatifitas, berinovasi maupun berekspresi hampir tidak ada. Lihat saja hari
ini dukungan dari segala asapek terutama teknologi memudahkan orang untuk
menggali potensi mereka masing – masing. Kebebasan yang terus menerus terjadi
tersebut rupanya tidak selalu memunculkan efek yang positif pula. Hal ini
terlihat di kalangan pelajar bahwa kebebasan yang tanpa kontrol memperlihatkan
gejala atau akibat yang kurang baik. Terutama bisa kita lihat pada pola dan
perilaku kaum terpelajar saat ini.
Pada sisi lain kebebasan
mengekspresikan diri bagi kaum terpelajar tersebut juga mendatangkan efek yang
tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku dilingkungannya. Sekarang ini
mereka bebas menulis, bebas berbicara, bahkan bebas memfitnah, bebas mencaci
maki. Kebebasan tersebut tidak terkontrol tujuannya. Baik itu kepada yang tua,
sama besar ataupun lebih kecil dari mereka. Kebebasan yang terus menerus
membuat kita semua kecolongan, sehingga kembali masyarakat luas menilai bahwa
lembaga pendidikan belum berhasil dalam upaya memanusiakan anak manusia.
Keberhasilan lembaga pendidikan
memang lebih banyak diukur dari seberapa baik sikap dan tingkah laku yang di
perlihatkan oleh para lulusannya. Ketika seorang pelajar kurang berkenan dimata
masyarakat, maka yang menjadi sasarannya adalah sekolah. Namun jika prilakunya
sesuai dengan keinginan masyarakat maka sekolah tidak begitu di apresiasi.
Selaras dengan fenomena diatas bahwa PISA 2009 juga menyimpulkan bahwa
praktik pendidikan yang dilaksanakan disekolah belum mampu memperlihatkan
fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua
warganya terampil membaca untuk mendukung mereka menjadi pembelajar sepanjang
hayat. Oleh sebab itu Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan sebuah
terobosan untuk semua jenjang pendidikan. Terobosan tersebut adalah Gerakan
Literasi Sekolah (GLS). Gerakan Literasi Sekolah atau GLS adalah sebuah upaya
yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah
sebagai organisasi pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik dengan
melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Secara umum tujuan GLS tersebut
adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar
mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Artinya terobosan GLS ini ingin
memberikan efek yang positif terhadap tingkah laku seluruh warga sekolah.
Sedangkan tujuan khususnya
adalah 1) menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa di
sekolah, 2) meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat,
3) menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak
agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan, 4) menjaga keberlanjutan
pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai
strategi membaca.
Merujuk pada kedua tujuan diatas
bahwa Gerakan Literasi Sekolah (GLS) harus dilaksanakan secara kolaboratif oleh
seluruh komponen yang ada disekolah maupun masyarakat diluar sekolah. Artinya
GLS harus mampu menggerakan seluruh komponen internal maupun eksternal sekolah.
Seiring kemajuan teknologi gerakan literasi ini tidak sekedar kegiatan membaca
dan menulis saja, namun mencakup kepada kemampuan seseorang mengadopsi
informasi dari berbagai sumber baik audio, video, cetak ataupun elektronik.
Clay (2001) dan Ferguson
(www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi
informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan,
literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks
Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap
selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.
Literasi Dini [Early
Literacy (Clay, 2001)], yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan,
dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman peserta didik
dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi
dasar.
2.
Literasi Dasar (Basic
Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan
menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan
(calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta
menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan
kesimpulan pribadi.
3.
Literasi Perpustakaan
(Library Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan
fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami
Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam
menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga
memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan
sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.
4.
Literasi Media (Media
Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda,
seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media
digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.
5.
Literasi Teknologi
(Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti
teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta
etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.
6.
Literasi Visual (Visual
Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi
teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat.
Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,
auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan
yang benarbenar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
Dalam rangka mengimplementasikan
Gerakan Literasi Sekolah (GLS), maka sekolah bisa mengukur dan merencanakan
tentang kegiatan literasi seperti apa yang bisa diterapkan. Hal ini tentu
tergantung kepada sarana dan prasarana pendukung disebuah sekolah. Sementara
itu seluruh warga sekolah harus punya komitmen dan keteladanan terhadap seluruh
peserta didik tentang upaya menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang literat
sehingga prilaku warga sekolah bermartabat. Semoga terwujud...